elfinorita
Jumlah posting : 2 Join date : 17.12.10 Lokasi : Cibodas
| Subyek: KOMPETENSI PROFESIONAL GURU Fri Dec 24, 2010 6:25 pm | |
| KOMPETENSI PROFESIONAL GURU oleh : Elfinorita
Profesi — merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Profesi guru harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,(3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakantugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (Cool memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Dilapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. (2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru professional — memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif (4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme — dalam pendidikan perlu dimaknai “he does his job well“. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Isu tentang pendidikan di Indonesia masih hangat untuk diperdebatkan, terutama yang menyangkut kualitasnya. Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001). Laporan United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati posisi ke-110 dari 117 negara. Laporan UNDP tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah.
Sadar akan hasil-hasil pendidikan yang belum memadai, maka banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan. Upaya-upaya tersebut, adalah melakukan perubahan atau revisi kurikulum secara berkesinambungan, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Penataran Kerja Guru (PKG), program kemitraan antara sekolah dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, proyek peningkatan kualifikasi guru dan dosen, dan masih banyak program lain dilakukan untuk perbaikan hasil-hasil pendidikan tersebut. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan secara intensif, tetapi pengemasan pendidikan sering tidak sejalan dengan hakikat belajar dan pembelajaran. Dengan kata lain, reformasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia masih belum seutuhnya memperhatikan konsepsi belajar dan pembelajaran. Reformasi pendidikan seyogyanya dimulai dari bagaimana siswa dan guru belajar dan bagaimana guru mengajar, bukan semata-mata pada hasil belajar (Brook & Brook, 1993). Podhorsky & Moore (2006) menyatakan, bahwa reformasi pendidikan hendaknya dimaknai sebagai upaya penciptaan program-program yang berfokus pada perbaikan praktik mengajar dan belajar, bukan semata-mata berfokus pada perancangan kelas dengan teacher proof curriculum. Dengan demikian, praktikpraktik pembelajaran benar-benar ditujukan untuk mengatasi kegagalan siswa belajar.
Praktik-praktik pembelajaran hanya dapat diubah melalui pengujian terhadap cara-cara guru mengemas dan melaksanakan pembelajaran. Untuk itu, diperlukan program-program pembinaan profesi guru. Program-program tersebut membutuhkan fasilitas yang dapat memberi peluang kepada mereka learning how to lean dan to learn about teaching. Fasilitas yang dimaksud, misalnya pelatihan tentang innovative instruction and assessment (pembelajaran dan asesmen inovatif), classroom action research (penelitian tindakan kelas), dan lesson study (kaji pembelajaran).
Berdasarkan hasil surve (Ardhana, et al., 2003; Ardhana, et al., 2004; Ardhana, et al., 2005) yang dilakukan di Propinsi Bali, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Aceh, terungkap bahwa Pembelajaran dan Asesmen Inovatif atau Innovative Instruction and Assessment (IIA) belum digunakan oleh para guru dalam pembelajaran. Alasan mendasar bagi para guru adalah karena tidak mengerti tentang pembelajaran dan asesmen inovatif. Hal ini patut disadari, bahwa sesungguhnya isu pembelajaran dan asesmen inovatif telah banyak didengung-dengungkan dalam pelatihan guru dan berbagai kegiatan guru lainnya. Namun, sampai saat ini model pelatihan yang operasional dan praktis tentang IIA belum ditemukan dalam praksis pendidikan. Oleh sebab itu, pengembangan model pelatihan berikut pedoman IIA dipandang sangat penting untuk dilakukan. Secara empiris penerapan IIA dalam pembelajaran berdampak positif dalam peningkatan perolehan belajar siswa (Ardhana, et al., 2003; Ardhana, et al., 2004; Ardhana, et al., 2005). Berdasarkan penelitian selama dua tahun yang telah dilakukan oleh Santyasa et al (2005) dan Santyasa et al (2006) secara konsisten terungkap, bahwa penerapan model perubahan konseptual sebagai IIA memberikan dampak positif dalam pemerolehan belajar berupa peningkatan pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, dan keterampilan menggunakan pengetahuan secara bermakna.
Sementara itu, budaya melakukan classroom action research (CAR) bagi para guru masih sangat rendah. Rendahnya budaya melakukan CAR tersebut disebabkan karena pemahaman para guru terhadap konsep-konsep CAR belum memadai. Santyasa dan Suwindra (2007) mengungkapkan bahwa pemahaman guru terhadap konsep dasar CAR relatif rendah. Alasan-alasan guru tidak memahami CAR secara mendalam adalah karena sebagian besar dari mereka belum mengerti tentang CAR dan sebagian kecil menyatakan pernah mengikuti in-service training (pelatihan), namun yang diperoleh hanya makalah seminar. Dalam kegiatan pelatihan bagi sebagian kecil guru-guru tersebut, konsep-konsep CAR memang telah diberikan kepada para guru dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Persoalannya adalah, apakah pelaksanaan pelatihan-pelatihan CAR pada sebagian kecil guru-guru tersebut telah menggunakan model pelatihan yang operasional praktis? Pertanyaan ini memberikan inspirasi dan sekaligus menjadikannya sebagai sebuah tema kajian yang sangat menarik. Hal ini penting dilakukan, karena secara teoretis, CAR dapat digunakan sebagai dasar pembinaan profesi dan peningkatan kompetensi guru (Jones & Song, 2005; Kirkey, 2005; McIntosh, 2005). CAR dapat membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan perolehan belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru (Prendergast, 2002). Penjelasan Prendergast tersebut mengindikasikan, bahwa CAR tidak hanya dapat memfasilitasi guru untuk meningkatkan profesionlisme, tetapi juga berdampak positif dalam peningkatan kualitas proses dan perolehan belajar siswa.
Lesson Study (LS) atau Kaji Pembelajaran adalah suatu pendekatan peningkatan pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Di Indonesia, LS telah diterapkan di tiga daerah (Malang, Yogyakarta, dan Bandung) sejak tahun 2006 melalui skema Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science (SISTTEMS)(Susilo, 2007). Di Bali, isu tentang LS baru terdengar pada awal tahun 2007, dan itupun hanya pada tatanan seminar. Model pelatihan yang operasional dan praktis tentang LS sampai saat ini belum ditemukan di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Fakta ini mendorong munculnya gagasan untuk mengembangkan model pelatihan yang operasional dan praktis serta pedoman penggunaannya. Secara teoretis, LS menyediakan suatu cara bagi guru untuk dapat memperbaiki pembelajaran secara sistematis (Podhorsky & Moore, 2006). LS menyediakan suatu proses untuk berkolaborasi dan merancang lesson (pembelajaran) dan mengevaluasi kesuksesan strategi-strategi mengajar yang telah diterapkan sebagai upaya meningkatkan proses dan perolehan belajar siswa (Lewis, 2002; Lewis, et al., 2006; Yuliati, et al., 2006). Dalam proses-proses LS tersebut, guru bekerja sama untuk merencanakan, mengajar, dan mengamati suatu pembelajaran yang dikembangkannya secara kooperatif. Sementara itu, seorang guru mengimplementasikan pembelajaran dalam kelas, yang lain mengamati, dan mencatat pertanyaan dan pemahaman siswa. Penggunaan proses Lesson Study dengan program-program pengembangan yang profesional tersebut merupakan wahana untuk mengembalikan guru kepada budaya mengajar yang proporsional (Lewis & Tsuchida, 1998).
Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan. (2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. (3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat",dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). (4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Berdasarkan alasan yang mendasar tentang pentingnya IIA, LS, CAR bagi guru dan siswa tersebut, maka model pelatihan IIA, LS, dan CAR sangat mendorong untuk segera dikembangkan dalam penelitian ini. Penelitian pengembangan model pelatihan untuk pembinaan profesi guru dilakukan selama 3 tahun (2008-2010). Pelaksanaan penelitian pada tahun I (2008) lebih fokus untuk mengungkap keberadaan dan pentingnya pengembangan model-model pelatihan IIA, LS, dan CAR untuk pembinaan provesi guru.
Tangerang, 25 Desember 2010 Penulis adalah: Pengawas TK/SD Kecamatan Cibodas Kota Tangerang. | |
|
Admin Admin
Jumlah posting : 21 Join date : 13.12.10 Lokasi : Pinang
| Subyek: Oke ... oke .. oke ! Fri Dec 24, 2010 9:19 pm | |
| Nah .... itu Ibu udh bagus Bu. Gampang khan? Tinggal Ibu pasang fotonya ja. Tulisan Ibu bisa saya edit. Yang tadinya ga justifi sekarang dah rapi.
Selamat ya Bu.. ! | |
|